Hukum Memperingati Maulid Nabi SAW

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
            Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab:
1.      Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan   sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2.   Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :
﴿ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴾
            “Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
            Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti  kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.
            Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh  Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :
﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا  
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu". Q.S; Al-Maidah : 3.
            Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu".
            Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya  Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
            Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya r.
            Kesimpulannya adalah bahwa  mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi r termasuk bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.
            Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi r terdapat  kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar'i, indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta'ala –kita berlindung kepada Allah dari hal ini-.
            Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.
            Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi r, karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi  yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah r dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah r masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.
            Bid'ah ini, maksudnya adalah bid'ah maulid, terjadi setelah berlalunya  3 (tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.

     Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid 2 hal 298-300.







Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah kita dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya. Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya.
Perayaan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam secara khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin oleh Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi hal. 285-287. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fathimiyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan Tahun baru, asyura, Maulid Nabi bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein, serta maulid Fatimah, dan lain-lain (Al Khuthath 1/490).
Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah memberi jawaban secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
2. Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as Sadi fi Mawlid al Hadi : “Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya” (surat Al Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut “Ahad”?
3. Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah apa yang mereka katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina‘ bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk Maulid Nabi di penghujung hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.”
4. Para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, “Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul.”
Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab As Shiyam (puasa).
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan sermonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang perayaan Maulid Nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkannya atau mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua bentuk perayaan Maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Padahal di masa Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dankeberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri, hanya lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin gembira.

Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.

Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.
Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?
Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).


Allah telah memerintah nabinya untuk mengikuti syari'atnya dalam beribadah kepadanya, dan melarang mengikuti hawa nafsu, dalam banyak ayat Allah memerintah nabinya untuk mengikuti wahyu. Ulama mengatakan bahwa ibadah harus didasari wahyu, dan tidak berdasarkan akal fikiran manusia.
Allah SWT memberi karunia kepada hambanya dengan mengutus rasulnya SAW, bukan dengan kelahirannya, oleh karena itu pada hari kelahiran nabi s.a.w para salafus shalih tidak melakukan amal perbuatan yang lebih dari hari-hari lain, dan tidak menganggap hari kelahiran nabi sebagai hari istimewa yang perlu diperingati, dirayakan atau dikaitkan dengan suatu hal yang dianggap penting, lihatlah misalnya Umar bin Khattab t ketika akan menetapkan awal tahun hijriyah, beliau tidak memulainya dari hari atau bulan kelahiran nabi s.a.w, namun memulainya dengan tanggal kemenangan nabi SAW.
Peringatan maulid nabi tidak pernah dilakukan oleh rasulullah, para sahabat, para tabi'in, maupun para imam madzhab seperti imam syafi'i, imam malik, Ahmad bin hambal dan Abu Hanifah, akan tetapi yang pertama kali mengadakan peringatan maulid nabi adalah para khalifah fatimiyah pada abad keempat hijriyah, bahkan mereka bukan hanya memperingati hari kelahiran nabi, akan tetapi mereka juga memperingati hari kelahiran imam Ali, Fatimah, hasan, dan Husain.  Sebelumnya umat islam tidak mengenal yang namanya peringatan maulid nabi s.a.w.
Sebenarnya para ahli sejarah berbeda pendapat tentang bulan kelahiran nabi s.a.w, ada yang mengatakan nabi dilahirkan pada bulan ramadhan, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa nabi s.a.w dilahirkan pada bulan rabiul awwal. Kemudian mereka juga berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran nabi s.a.w. Ibnu Abdil barr mengatakan beliau lahir pada tanggal dua, ada yang mengatakan tanggal delapan, ini didukung oleh ibnu Hazm dan kebanyakan ahli hadits, ada yang mengatakan pada tanggal sembilah, ini dikuatkan oleh abul hasan an-Nadawi dan zahid al-kaustari, ada yang mengatakan tanggal sepuluh, ini dikatakan oleh al-Baqir, ada yang mengatakan pada tanggal dua belas, ini ditegaskan oleh Ibnu Ishaq, ada yang mengatakan tanggal tujuh belas, dan ada yang mengatakan tanggal delapan belas rabi'ul awwal.
Ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak begitu memperhatikan tanggal kelahiran nabi, karena tidak ada ibadah yang berkaitan dengan hari kelahirannya, sebab kalau seandianya ada, niscaya diriwayatkan kepada kita.
Kemudian perlu diketahui bahwa tanggal dua belas rabi'ul awal juga merupakan hari meninggalnya rasulullah s.a.w, jadi bergembira pada hari itu tidak lebih baik dari bersedih, selain itu bila diperhatikan, peringatan maulid nabi banyak menyebar di Negara-negara yang bertetangga dengan Kristen, seperti di suriah dan mesir. Orang-orang nasrani merayakan hari kelahiran Isa u, dan itu merupakan sebab orang-orang islam mengadakan perayaan hari besar karena mengikuti tradisi mereka.
Kecintaan kepada nabi SAW bukan dibuktikan dengan memperingati hari kelahirannya, namun dengan mengikuti sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan gembira dengan nabi SAW bukan hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti hanya di bulan rabi'ul awal, tetapi sepanjang masa.
Nabi saw telah melarang umatnya berlebihan dalam memuji dan mengagungkan beliau, beliu bersabda:  janganlah kalian belebihan terhadapku sebagaimana orang nasrani berlebihan terhadap putera Maryam, aku tidak lain hanyalah hamban Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan rasulnya. (HR. Bukhari)
Kebanyakan bacaan yang dibaca dalam peringatan maulid nabi yang berupa pujian kepada beliau sangat berlebihan, dan ini diakui oleh orang yang mendukung peringatan maulid nabi itu sendiri, terutama ketika sebagian orang mengarang buku tentang peringatan maulid nabi, kemudian mereka membuat-buat hadits palsu untuk mendukung perbuatannya. Salah seorang tokoh sufi di abad ini yaitu Abdullah al-Ghimari berkata: (( "… buku-buku tentang maulid nabi dipenuhi oleh hadits-hadits palsu, dan ini telah menjadi keyakinan kuat bagi kalangan awam, aku berharap semoga Allah memberi taufik kepadaku untuk menulis buku tentang maulid nabi, yang terbebas dari dua hal yaitu: hadits-hadits palsu, dan sajak yang dipaksakan … jadi berlebihan dalam mumuji itu tercela, berdasarkan firman Allah swt: ((janganlah kalian berlebihan dalam agama kalian)), dan juga orang yang memuji nabi saw dengan suatu hal yang tidak ada dasarnya dari nabi saw maka ia telah berbohong, sehingga ia termasuk orang yang diancam dalam hadits: barangsiapa yang sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.
Fadhilah-fadilah nabi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap enteng dengan menggunakan hadits dhaif dan sebagainya, karena ini berkaitan dengan pembawa syari’at, nabi umat ini, yang mengharamkan dusta atas nama beliau dan menjadikannya sebagai salah satu dosa besar, bahkan Abu Muhammad al-Juwaini, bapak dari Imam al-Haramain berpendapat bahwa orang yg berdusta atas nama nabi saw, ia kafir. Dengan demikian, hal-hal yang berlebihan yang terdapat dalam buku-buku maulid nabi, dan kisah isra’ mi’raj tidak ada dasarnya sama sekali, maka wajib dibakar agar para penulisnya dan orang-orang yang membacanya tidak dibakar di neraka, kami mohon keselamatan kepada Allah". (ini dalam buku tentang kritik terhadap burdatnya al-Bushiri hal 75).
Dan biasanya dalam peringatan maulid diakhiri dengan kata-kata bid’ah dan tawassul-tawassul yang berbau syirik.
Kemudian dalam peringatan maulid nabi biasanya melakukan beberapa kesalahan, di antaranya:
Orang-orang yg memperingati maulid menuduh orang-orang yang tidak merayakannya bahwa mereka tidak mencintai nabi saw, mereka pura-pura tidak tahu bahwa kecintaan kepada nabi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau, bukan dengan berbuat bid’ah, demikan pula hal-hal yg dilakukan pada waktu memperingati maulid, seperti bacaan-bacaan yang tidak ada dasarnya dari agama yang dibaca dengan disertai gerakan-gerakan yang tidak pernah diajarkan dalam agama, disamping kisah-kisah bohong yang dibuat-buat tentang faedah atau fadhilah memperingati maulid nabi dsb. Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari berkata: "dalam memperingati maulid nabi banyak terjadi pemborosan dan membuang-buang harta serta waktu yang tidak ada gunanya dan tidak kebaikannya sama sekali". (al-Ibda’/324) sedangkan kaidah syar’iyah mengatakan bahwa suatu yang mubah jika menyebabkan kepada suatu yang diharamkan maka hukumnya haram.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa merayakan maulid nabi adalah bid’ah, akan tetapi mereka berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa ia adalah bid’ah hasanah, dengan alasan bahwa ada maslahat yang mungkin bisa diperoleh.
Akan tetapi para ulama yang lain, baik dahulu maupun sekarang banyak yang berfatwa bahwa merayakan maulid hukumnya haram, berdasarkan dali-dalil syari’at yang mengharamkan bid’ah dalam masalah agama, sedangkan perayaan maulid termasuk masalah agama, mereka memandang bahwa perayaan maulid adalah suatu kesalahan yang pasti, sedangkan kebaikan yang diharapkan hanya merupakan dugaan. Kemudian perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi saw, dan juga para sahabat, para tabi’in, dan juga periode setelah itu. Dan juga nabi saw tidak membedakan bid’ah ada yang baik dan buruk, akan tetapi beliau mengatakan: kullu bid’atin dhalaalah: semua bid’ah adalah kesesatan).
Imam malik berkata: barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam islam dan ia menganggapnya baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap kerasulan, karena Allah swt berfirman: “pada hari ini aku telah menyempurnakan agamamu”, maka apa yang tidak termasuk agama pada waktu itu, maka sekarang tidak menjadi agama) (al-I’tisham karangan as-Syatibi).
Adapun ulama-ulama yang berfatwa bahwa perayaan maulid itu bid’ah, diantaranya:
Imam Syatibi, beliau menyebutkan di awal kitabnya al-I’tisham (1/34) dan mengatakan bahwa menjadikan hari kelahiran nabi saw sebagai ied adalah bid’ah.
Imam al-fakihani dalam bukunya risalah al-Mufradah hal 8-9.
Ulama India, Abu thayyib syamsul Haq, begitu pula gurunya al-Allamah Basyiruddin Qanuji yang menulis buku dengan judul: ghayatul kalam fii ibthalil amalil maulid wal qiyam.
Syaikh al-Allamah Abi Abdillah Muhammad al-Haffar al-Maliki salah satu ulama maroko berkata: (para salafus shalih yaitu para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak pernah berkumpul pada malam kelahiran nabi untuk beribadah, dan tidak melakukan sesuatu yang lebih dari hari-hari biasa, karena nabi saw tidak mengagugkan sesuatu kecuali yang disyari’atkan oleh Allah swt… (almi’yaar al-mu’rab 7/99).
Syaikh Muhammad shalih al-Utsaimin kt: (mereka melakukannya dengan alas an mencintai rasulullah saw, dan mereka ingin mengingat rasulillah saw. Kami katakan kepada mereka: kami senang jika kalian mencintai nabi saw, dan kami senang jika kalian ingin mengingat nabi saw, akan tetapi ada ketentuan yang telah ditetapkan olen Yang Maha Bijaksana, dan tuhan seluruh alam, ada ketentuan dalam mencintai, yaitu firman Allah swt: katakan, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu.
Jika seseorang jujur dalam pengakuannya mencintai Allah dan rasulnya, makan hendaklah mengikuti syari’at Allah, dan mengikuti apa yang diajarkan oleh nabi saw, jika ia tidak mengikutinya, maka pengakuan cintanya dusta. Karena neraca ini adalah neraka yang jujur dan adil. Oleh karena itu mari kita lihat, apakah merayakan kelahiran nabi saw termasuk syari’at allah? Apakan nabi saw melakukannya? Apakan khulafa’ rasyidin melakukannya? Apakah para sahabat melakukannya? Apakah para tabi’in melakukannya? Jelas jawabnya tidak, barangsiapa yang mengatakan sebaliknya, maka hendaklah memberikan bukti. “katakan, sampaikanlah bukti kalian jika kalian benar”).
Syaikh DR. Yusuf al-Qardhawi berkata: … mereka mengatakan bahwa yang membuat-buat perayaan maulid ini adalah Fathimiyah di mesir, dan dari mesir menyebar ke Negara-negara lain, ada kemungkinan di balik itu ada tujuan politik tertentu, mereka ingin mengalihkan perhatian rakyat kepada perayaan maulid ini, sehingga mereka tidak ikut campur memikirkan urusan politik dan juga masalah-masalah umum lainnya, oleh karena itu kalau ini dianggap ibadah maka kami berkata: ibadah ini tida pernah diajarkan dan tidak benar) al-Jazirah.
Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya: bukan termasuk islam hal 252 kt: bertaqarrub dengan mengadakan perayaan maulid adalah ibadah yang tidak ada dasarnya, oleh karena itu kita memandang bahwa semua perayaan ini adalah bid’ah yang ditolak dan tidak bisa dibenarkan.. menghilangkan maulid adalah masalah yang sangat penting baik dari segi agama maupun dunia ..selain maulid nabi juga peringatan isra’ mi’raj, malam nisfu sya’ban, lailatul qadar, dan malam awal tahun hijriyah.
Perayaan-perayaan ini telah ditentukan waktunya, dan mengeluarkan biaya dianggap sebagian syi’ar agama, dan orang-orang awam telah memberikan perhatian lebih dengan kata-kata dan makanan, apakan hal itu menolong agama!!.
Ahirnya kita berdoa semoga kita mendapat kekuatan iman dan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa mengamalkan agama dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya, dan semoga kita dijaga dari kesalah pahaman terhadap agama yang bisa menggelincirkan kita dari jalah yang lurus. Amin.
Maulid Nabi saw. adl kelahiran nabi Muhammad Rasulullah saw. Beliau saw. dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai tanggal kelahirannya para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah ini dan tidak ada dari mereka yg mengetahui secara pasti namun menurut buku “Sirah Nabawiyah” karya Shafiyurrahman Mubarakfury -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yg diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad saw. dilahirkan pada hari senin pagi tanggal 9 Rabi’ul Awal permulaan tahun dari peristiwa gajah. Bertepatan dgn itu terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya adalah runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra padamnya api yg biasa disembah oleh orang-orang Majusi dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah saw. berkata “Setelah bayiku keluar aku melihat ada cahaya yg keluar dari kemaluanku menyinari istana-istana di syam.” Setelah Aminah melahirkan dia mengirim utusan kepada kakeknya Abdul Muththalib utk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya.
Maka Abdul Muththalib datang dgn perasaan suka cita lalu membawa beliau ke dalam ka’bah seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad utk beliau sebuah nama yg belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada hari ke tujuh seperti yg biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi saw. yg kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum muslimin sejak berlalunya tiga generasi yaitu generasi sahabat tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Rasulullah saw. bersabda “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba maka katakanlah ‘Abdullah wa rasuluhu ’.” .
Dalam hadis yg lain Rasulullah saw. bersabda “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan krn sesungguhnya sikap berlebihan itulah yg telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” Dan dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda “Binasalah orang yg berlebih-lebihan dalam tindakannya.” .
Hadis di atas menerangkan larangan Rasulullah saw. kepada umatnya utk memujinya secara berlebih-lebihan. “Janganlah kamu sekalian memujiku dgn berlebih-lebihan.” Artinya adl janganlah kamu sekalian memujiku dgn cara yg bathil dan janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadis tersebut adl melampaui batas dalam memuji.
Kenyataannya kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan mengagungkan orang yg menjadi panutan dan junjungannya sehingga mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yg seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yg sebenarnya hanya milik Allah. Hal itu krn perilaku mereka yg berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung panutan mereka.
Walaupun Rasulullah saw. sudah melarangnya tapi kenyataan ini masih terjadi di kalangan sebagian orang yg mengaku sebagai umatnya. Kita dapati di sebagian syair yg di anggap sebagai salah satu shalawat yg berbunyi “Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayidina Muhammadin alladzi tanhalu bihil ‘uqadu watanfariju bihil kurabu wa tuqdha bihil hawaiju..” yg artinya “Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam yg sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. yg karenaya ikatan belenggu terurai dan karenanya malapetaka sirna dan karenanya kebutuhan-kebutuhan terpenuhi….” Bukankah itu adl pujian yg berlebihan krn menyanjung Rasulullah saw. dgn hal-hal yg sebenarnya hanya kekuasaan Allah saja.
Itu adl satu contoh tentang keadaan sebagian umat yg melampaui batas dalam memuji Nabinya.
Setelah itu ada masalah yg tersisa yaitu bagaimana dgn acara-acara perayaan dan beberapa perilaku yg dilakukan oleh kebanyakan orang utk memperingati kelahiran Nabi saw. Apakah hal tersebut termasuk perilaku yg berlebih-lebihan dan melampaui batas? Atau merupakan sesuatu hal yg baru yg diada-adakan oleh umat ini? Tentang hal itu marilah kita ikuti komentar Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ketika beliau ditanya mengenai hukum merayakan maulid Nabi saw.
Beliau berkata “Pertama malam kelahiran Nabi saw. tidak diketahui secara pasti tetapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa hal itu terjadi pada malam kesembilan Rabi’ul awal bukan pada malam kedua belas. Tetapi justru saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas yg tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.
Kedua dipandang dari sisi akidah juga tidak ada dasarnya. Kalaulah itu syariat dari Allah tentulah dilaksanakan oleh Nabi saw. atau disampaikan pada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah saw. mengerjakannya atau menyampaikan kepada umatnya mestinya amalan itu terjaga krn Allah berfirman “Sesungguhnya Kami-lah yg menurunkan Alquran dan sesunggunya Kami benar-benar akan menjaganya.” .
Ketika ternyata hal itu tidak didapati maka bisa diketahui bahwa hal itu bukanlah termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan dari ajaran agama Allah maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan taqarrub kepada-Nya.
Allah telah menetapkan suatu jalan yg sudah ditentukan utk bisa sampai kepada-Nya –itulah yg datang kepada Rasulullah saw.- maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yg akan menghantarkan kepada-Nya padahal kita adl seorang hamba. Ini berarti mengambil hak Allah yaitu membuat syariat yg bukan dari-Nya dan kita masukkan ke dalam ajaran Allah. Ini juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah “Pada hari ini telah kusempurnakan utk kamu agamamu dan telah kecukupkan ni’mat-Ku kepadamu….” .
Maka kami katakan bila perayaan ini termasuk bagian dari kesempurnaan dien tentunya sudah ada sebelum Rasulullah saw. wafat. Bila tidak ada berarti hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan dien krn Allah berfirman “Pada hari ini telah Kusempurnakan utk kamu agamamu dan telah kecukupkan ni’mat-Ku kepadamu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” .
Barang siapa yg menyatakan bahwa perayaan maulid adl termasuk ajaran agama maka ia telah membuat hal yg baru sepeninggal Rasulullah saw.
ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat yg mulia tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yg merayakan maulid Nabi ingin mengagungkan beliau ingin menampakkan kecintaan dan besarnya harapan utk mendapatkan kasih sayang beliau dari perayaan yg diadakan dan dan ingin menghidupkan semangat kecintaan kepada Nabi saw. Sebenarnya semua ini adl termasuk ibadah. Mencintai Rasul adl ibadah bahkan iman seseorang tidak sempurnya sehingga ia lbh mencintai Rasul dari pada dirinya anaknya orang tuanya dan semua manusia. Mengagungkan Rasulullah saw. juga termasuk ibadah. Haus akan kasih sayang Rasulullah saw. juga merupakan bagian dari dien. Oleh krn itu seseorang menjadi cenderung kepada syariat beliau.
Jika demikian tujuan merayakan maulid nabi adl utk bertaqarrub kepada Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya. Ini adl ibadah. Bila ini ibadah maka tidak boleh membuat hal yg baru –yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka dari itu jelaslah bahwa perayaan maulid Nabi saw. adl sesuatu yg diada-adakan dan haram hukumnya.
Selain itu kita juga mendengar bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yg tidak diterima oleh syar’i perasaan ataupun akal. Mereka melantunkan nyanyian-nyanyian utk maksud-maksud tertentu yg sangat berlebihan tentang Rasulullah saw. Sehingga mereka menjadikan Rasulullah saw. lbh agung dari pada Allah. –kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-. Kita juga mendengar bahwa sebagian orang krn kebodohan mereka merayakan maulid Nabi apabila salah seorang membacakan kisah tentang kelahiran Nabi saw. dan jika sudah sampai pada lafadz “Nabi dilahirkan” mereka berdiri dgn serempak. Mereka berkata “Rasulullah saw. telah datang maka kami pun berdiri utk mengagungkannya.” Ini adl kebodohan. Dan ini bukanlah adab krn beliau membenci bila disambut dgn berdiri. Para sahabat adl orang yg paling mencintai dan mengagungkan beliau tetapi mereka tidak berdiri bila menyambut beliau krn mereka tahu bahwa beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh apalagi setelah beliau tidak ada.
Dalam bidah ini –bidah maulid Nabi yg terjadi setelah berlalunya tiga generasi mulia yaitu para sahabat tabi’in dan tabi’ tabi’in- terdapat pula kemungkaran yg dilakukan oleh orang-orang yg merayakannya yg bukan dari pokok ajaran dien. Terlebih lagi terjadinya ikhtilath {campur baur} antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak kemungkaran-kemungkaran yg lain. {Majmu’ Fatawa Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin}.
Kiranya apa yg dikatakan oleh Syaikh Utsaimin di atas cukup menjelaskan kepada kita tentang hukum merayakan maulid Nabi saw.
Meskipun mengetahui sejarah dan mengenal Nabi saw. adl wajib bagi kita bangga –karena beliau adl rahmat bagi seluruh alam- dan selalu mengenang beliau adl tugas kita namun tidak berarti kemudian kita diperbolehkan utk memuji dan menyanjungnya secara berlebih-lebihan dan tidak berarti kita boleh mengenangnya dgn melakukan perilaku dan amalan yg justru hal itu tidak pernah dilakukannya dan tidak dianjurkan olehnya.
Seperti yg dilakukan oleh orang-orang sekarang mereka merayakan maulid Nabi yg mereka sebut dgn peringatan maulid Nabi dgn melakukan berbagai amalan dan perbuatan yg justru hal itu bernilai berlebih-lebihan dalam memuji Nabi atau bahkan merupakan hal baru yg mereka ada-adakan.
Lebih dari itu sebagian perilaku mereka itu ada yg termasuk dalam kategori kesyirikan yaitu apabila mereka memuji Rasulullah saw. dgn sanjungan-sanjungan dan pujian-pujian yg berisi bahwa Rasulullah saw.
mampu melakukan hal-hal yg seharusnya hanya hak dan kekuasaan Allah.
Walaupun tujuan merayakannya adl ibadah namun krn tidak ada tuntunannya maka perbuatan itu sia-sia belaka dan justru berubah menjadi dosa dan pelanggaran. Karena ibadah itu harus dibangun dgn dalil yg menunjukkannya.
Mengapa memperingati dan mengenang Nabi saw. harus dilakukan sekali dalam setahun padahal sebagai muslim harus selalu mengenang Nabi dan meneladaninya dalam segala aspek kehidupannya. Bahkan minimal seorang muslim harus menyebut nama Nabi Muhammad saw. lima kali dalam sehari semalam yaitu pada syahadat dalam salat wajib. Mengagungkan dan mencintai Nabi adl sesuatu yg terpuji dan dianjurkan dalam Islam tapi dalam pelaksanaannya harus sesuai dgn apa yg diajarkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw. melarang umatnya melakukan sesuatu yg tidak pernah dicontohkan olehnya dalam segala hal. Bagaiamana mungkin orang yg mengaku mencintai dan menyanjung Rasulullah saw. akan tetapi justru melakukan sesuatu yg sangat dibenci olehnya.